Minggu, 03 Januari 2010

Budi Pekerti Harus Diteladankan, Bukan Diajarkan

Budi Pekerti Harus Diteladankan, Bukan Diajarkan

Budaya kekerasan dan kemerosotan akhlak yang menimpa anak-anak usia sekolah belakangan ini semakin terasa. Banyak anak didik yang sering dinilai kurang memiliki sopan santun baik di sekolah, di rumah maupun di masyarakat. Lebih dari itu anak-anak tersebut juga sering terlibat tawuran, kasus obat-obatan terlarang dan tindakan negatif lainnya.
Pandangan sejumlah orang yang terlalu sempit dapat menganggap bahwa kemerosotan akhlak, moral, dan etika peserta didik disebabkan karena gagalnya pendidikan agama di sekolah. Pendidikan agama dituding telah gagal dalam membentuk akhlak dan kepribadian siswa. Harus diakui, dalam batas tertentu, pendidikan agama di sekolah memang memiliki kelemahan-kelemahan, sejak dari jumlah jam pelajaran yang sangat minim, juga materi yang terlalu menekankan pada aspek teoritis dan kognitif.
Dewasa ini terdapat wacana untuk menambahkan mata pelajaran muatan lokal pendidikan budi pekerti di sekolah dalam rangka menanggulangi perkembangan negatif peserta didik. Pendidikan budi pekerti adalah suatu proses pembentukan perilaku atau watak seseorang, sehingga dapat membedakan hal yang baik dan yang buruk serta mampu menerapkannya dalam kehidupan. Pendidikan budi pekerti pada hakikatnya merupakan konsekuensi atau tanggung jawab seseorang untuk memenuhi suatu kewajiban. Budi pekerti lahir karena fakta, persepsi atau kepedulian untuk melakukan hubungan sosial secara harmonis melalui perilakunya. Parameter budi pekerti yang luhur adalah kesesuaiannya dengan norma, etika, dan ajaran agama yang dianut suatu masyarakat(tribunjabar.co.id ; 19.14 ; 8 Desember 2009).
Budi pekerti merupakan perilaku (behaviour), bukan pengetahuan sehingga untuk dapat diterima oleh peserta didik, maka harus diteladankan bukan diajarkan. Sebagai seorang pendidik atau guru seharusnya dapat membentuk siswa yang berbudi pekerti luhur dan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan. Misalnya etika bermasyarakat, bertetangga, bertamu, berbusana dan bergaul. Semua pihak sepakat bahwa budi pekerti dan moralitas peserta didik dewasa ini akan menentukan nasib bangsa ini di masa yang akan datang, sehingga dapat membentuk budi pekerti yang luhur pada anak-anak.
Oleh karena itu, kewajiban orang tua dan guru untuk menanamkan pendidikan budi pekerti baik di rumah maupun di sekolah sebagai sarana pencegahan. Di rumah, orang tua harus menunjukkan sikap yang jauh dari unsur kekerasan. Kerap kali orang tua menganggap bahwa kekerasan adalah bentuk didikan pada anak. Perlu dibedakan antara ketegasan dan kekerasan. Ketegasan terhadap anak, bukan berarti harus bersikap keras, seperti menghukum secara fisik, sebab tindakan semacam itu sudah tergolong kekerasan. Namun, ketegasan dimaksudkan sebagai pendidikan yang mengedepankan aturan-aturan, dan bila si anak melanggar maka ada sanksi yang harus dijalani. Bentuk sanksi inilah yang membedakan antara ketegasan dengan kekerasan. Sanksi dalam bentuk ketegasan akan membuat anak sadar terhadap kesalahannya dan dari sanksi tersebut ada manfaat yang diperolehnya. Sementara, sanksi dalam bentuk kekerasan, kemungkinan kecil akan membuat anak sadar dan jelas sekali tidak ada manfaat yang diperoleh dari sanksi tersebut.
Di sekolah, guru harus menanamkan budi pekerti yang baik bagi siswa. Meski, porsi pendidikan budi pekerti makin kurang, setidaknya seorang guru harus kreatif dalam mendidik murid. Di sela-sela penyampaian pelajaran, guru juga harus menyampaikan nilai dan norma atau nasehat-nasehat. Dengan demikian, anak didik tidak hanya dibekali dengan keilmuan, tapi juga budi pekerti. Sebagai seorang pendidik atau guru juga harus menampakkan budi pekerti yang baik karena sikap seorang guru terhadap muridnya juga merupakan pendidikan bagi murid. Bila hal ini dilakukan, maka potensi munculnya kekerasan di masyarakat Indonesia akan berkurang seminimal mungkin (equilibrium.ugm.ac.id ; 19.16 ; 8 Desember 2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar